Monday, July 7, 2014

Sambut Pesta Demokrasi 9 Juli




Halo Juli. Rasanya tahun ini seneng banget ketemu kamu. You know why?
-       the first, skripsi saya sudah selesai. Itu artinya saya tidak terbebani lagi untuk mengerjakan skripsi yang baru dapat saya selesaikan selama 2 tahun (ketahuan malesnya hehehe...). Meskipun itu artinya saya segera menyandang status terbaru sebagai pengangguran sementara.
-       the second, di bulan ini ada 3 momen terbesar yang terjadi, yaitu final piala dunia 2014 (kebetulan saya adalah penggila bola), bulan suci Ramadhan, dan pesta demokrasi pemilihan presiden Indonesia pada 9 Juli nanti.

Kali ini saya nggak mau membahas soal final piala dunia (semoga Brazil menang) ataupun datangnya bulan suci Ramadhan. Saya pengen sedikit mengulas tentang pemilihan presiden pada 9 Juli nanti. Pesta demokrasi inilah yang telah ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi mereka dalam 5 tahun ke depan. Sebenarnya sudah banyak blog yang membahas ini sih, dan saya pun udah telat karena 9 Juli jatuh pada lusa. Tapi tak apalah, semoga tulisan yang merupakan opini saya ini bisa memberi sedikit pencerahan bagi yang masih bingung menentukan pilihannya.


And finally....jreng....jreng....jreng....here we go...

Pada awalnya saya pun mengalami kebingungan dalam menentukan siapa pasangan capres-cawapres yang akan saya berikan kepercayaan untuk ‘menjadi imam’ saya selama 5 tahun ke depan. Apalagi capres-cawapres hanya ada 2 pasangan calon. Tentu saja ini pilihan yang sulit. Saya berusaha mempelajari latar belakang kedua pasangan calon, dan ini membuat saya semakin kebingungan karena kedua pasangan sama-sama bagus. Pasangan no urut 1 (Prabowo-Hatta), capresnya mantan anggota TNI yang tidak perlu diragukan lagi ketegasan dan kemampuan pertahanannya. Tentu saja ia juga memiliki pengetahuan politik yang tidak sedikit. Sementara cawapresnya, pak Hatta, adalah mantan menteri perhubungan dan menteri ekonomi pada kabinet sebelumnya. Tentu saja kemampuannya sudah tak bisa diragukan lagi. Sedangkan pasangan no urut 2 (Jokowi-Jusuf Kalla) juga memiliki latar belakang yang cukup bagus. Jokowi adalah mantan Walikota Solo selama 2 periode (meskipun periode ke 2 nggak tuntas) dan sampai sekarang masih menjadi Gubernur DKI Jakarta (ini nggak selesai juga) yang kemampuan leadershipnya jelas diatas rata-rata. Sementara pak JK adalah mantan wakil presiden pada kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Jikalau ia menjadi wakil presiden kembali, bukan tidak mungkin beliau akan mengulang kesuksesan yang sama.

Kebingungan saya alami ketika melihat sisi negatif kedua pasangan calon. Prabowo sebagai capres no urut 1 memiliki kekurangan ketika kita menilik kasus penculikan aktivis tahun 1998. Saya memang tidak mengerti betul kasus tersebut karena saat itu saya baru berumur 8 tahun. Namun mengikuti perkembangan berita di media dimana sering kali diberitakan bahwa para aktivis yang diculik saat itu tidak diketahui nasibnya hingga saat ini. Bagi saya pribadi ini adalah kejahatan kemanusiaan. Sementara cawapresnya, pak Hatta, saya melihat pada saat di periode sebelumnya saat beliau masih menjabat sebagai menteri perhubungan, banyak sekali kecelakaan yang dialami transportasi kita baik yang melalui jalur darat, laut, dan udara. Sampai sekarang bagi saya kasus-kasus tersebut belum terselesaikan sepenuhnya. Namun saya cukup terkejut ketika beliau tiba-tiba diganti jabatan menjadi menteri ekonomi oleh bapak SBY. Sedangkan pasangan no urut 2, capresnya, pak Jokowi, saya sempat mencap beliau tidak amanah. Setelah beliau belum menyelesaikan amanahnya untuk Kota Solo, beliau justru pergi untuk mengabdi pada provinsi DKI Jakarta. Belum selesai pula pengabdian beliau untuk provinsi tersebut, beliau sudah dicalonkan sebagai calon presiden RI. Namun saya sempat melihat ekspresi beliau ketika menerima keputusan partai untuk menjadi capres RI (kebetulan saya suka mengamati ekspresi orang) beliau terlihat begitu berat menerimanya. Mungkin bertentangan dengan hati kecil beliau. Sementara untuk pak JK, saya tidak melihat hal negatif dari dirinya.

Namun seiring berjalannya waktu, pada akhirnya saya memutuskan menentukan sebuah pilihan. Yap, saya akan memilih pasangan no urut 2. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain:
1.    Saya tinggal selama 6 tahun di Solo, kota yang pernah dipimpin pak Jokowi. Bahkan saat itu beliau masih menjabat sebagai walikota untuk periode ke 2. Di kota yang awalnya sama sekali tidak saya kenal itu, saya melihat kota Solo sudah tertata dengan rapi dan apik, meskipun belum seluruhnya. Tentu saja penataan kota tidak bisa dilakukan dalam sekejap waktu. Di kota yang dulu dikenal sebagai ‘sumbu pendek’ ini, kini saya melihat masyarakatnya jauh lebih ramah. Tentu saja rakyat akan ikut apa yang dicontohkan pemimpinnya kan?
2.    Kepribadian merakyat dan sederhana yang diperlihatkannya. Hal ini tidak dilakukan jauh sebelum media mengekspos segala aktivitas yang dilakukan Jokowi (seingat saya Jokowi mulai terkenal setelah memasarkan mobil ESEMKA). Sebagai contoh, waktu itu jurusan saya, Ilmu Komunikasi FISIP UNS dalam mata kuliah perencanaan komunikasi kalo saya nggak salah ingat, pernah mengundang salah satu kepala dinas (saya lupa dinas apa) untuk memberikan pemaparan tentang strategi pemkot dalam menata kota Solo, terutama perencanaan komunikasi dengan semua lapisan masy, khususnya para PKL. Waktu itu kepala dinas sudah datang dan memberikan kuliah umum sebentar, namun tiba-tiba pak Jokowi datang dan masuk ke ruangan. Sontak kami para mahasiswa dan dosen kaget karena tidak ada yang mengetahui dan menyangka beliau akan datang. Lalu dengan sopan dan jelas beliau memberikan kuliah umum. Bahkan beliau menjawab setiap pertanyaan dengan ramah. Beliau bahkan memotivasi kami, mahasiswa, untuk ikut aktif ambil bagian dalam menciptakan kota Solo yang aman, tertib, indah dan damai. Contoh kedua, waktu diselenggarakan sebuah event oleh anak-anak komunikasi 2007 UNS di Ngarsopuro, para kepala dinas, dosen, dan tamu penting sudah datang dan duduk di barisan kursi paling depan. Di tengah-tengah acara ternyata pak Jokowi datang dan berbaur dengan para penonton tanpa dikawal siapapun. Saya yang saat itu juga ikut menonton, tidak menyadari ada pak Jokowi yang berdiri dekat dengan tempat saya berdiri. Di akhir acara, kami baru menyadari bahwa ada bapak walikota yang berdiri di tengah-tengah penonton.
Di situlah saya melihat kesederhanaan seorang pemimpin. Beliau tidak memberi batasan antara pimpinan dan rakyatnya. Bagi beliau, pemimpin dan rakyat adalah satu yang sama-sama memiliki tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Saya sedih dengan banyaknya black campaign yang bersifat menjatuhkan kedua pasangan calon, terutama pak Jokowi. Saya sedih apabila beliau selalu dibilang pencitraan. Karena bagi saya apa yang dia lakukan dan tunjukkan, memang pribadi dia yang sebenarnya. Beliau sudah melakukan itu jaauuuuuuhhhhhhhhh sebelum media repot-repot mengeksposnya. Toh kalaupun memang benar itu pencitraan, apa salahnya? Bukankah setiap orang membutuhkan pencitraan? Bukankah setiap orang tidak mau dinilai buruk oleh orang lain? Tanpa kita sadari kita setiap saat pun melakukan pencitraan di depan setiap orang yang kita temui. Ini yang disebut sebagai Personal Branding (kebetulan saya pernah ikut seminar Personal Branding yang diisi oleh Helmy Yahya, meskipun nggak terlalu fokus karena saat itu saya menjadi panitianya). Inti dari seminar itu adalah setiap orang membutuhkan pencitraan agar dirinya memiliki ‘nilai’ di depan orang lain. Jadi tak ada salahnya jika pak Jokowi-JK dan juga Prabowo-Hatta mencitrakan dirinya di depan calon rakyatnya, semata-mata agar rakyat memiliki kepercayaan untuk memilih mereka kelak.

Siapapun pilihannya, saya berharap agar kita sama-sama saling menghormati pilihan masing-masing. Tidak menjelekkan capres-cawapres lawan. Toh pada akhirnya salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita yang wajib kita hormati dan taati. Siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti, semoga mereka amanah akan apa yang telah mereka janjikan.

Mari kita sukseskan pemilu 9 Juli nanti sesuai azas LUBER JURDIL. Pemilu 9 Juli, Pemilu yang Damai.

Salam sayang untuk Indonesia.


Friday, January 31, 2014

Di Batas Senja



Sore ini aku terduduk manis di sebuah cafe di kota Bandung. Ku nikmati secangkir vanilla latte sambil mendengarkan sebuah lagu yang mengalun lirih dari earphone di sepasang telingaku. Di luar hujan deras sekali. Sebenarnya sore ini aku ada janji bersama teman-temanku. Ah tapi sudahlah, aku lebih suka duduk menyendiri disini. Orang-orang sering menganggapku anti sosial karena sering menyendiri. Tapi bagiku, aku lebih suka menyendiri agar bisa bermain dengan lamunanku. Aku memang tak terlalu peduli dengan omongan orang.
          Ku teruskan lamunanku sambil perlahan-lahan menyeruput vanilla latte ku. “Mel”, tiba-tiba ada yang memanggilku.  Samar-samar ku kenali seorang gadis sebaya yang tiba-tiba duduk di depanku. “Andria?”, tanyaku.
“Iya, ini aku. Kamu apa kabar?? ga nyangka bisa ketemu kamu disini”, jawab gadis yang ku panggil Andria tadi.
“Ba...baik. Kamu gimana? Iya ya, kok kamu bisa ada di sini?”, aku bertanya balik.
“Alhamdulillah baik juga. Aku sekarang tinggal di Bandung Mel, ikut suamiku. Ya maklumlah dia kerjanya pindah-pindah. Kamu sendiri kok bisa ada di Bandung?”, jawabnya.
“Aku kerja disini Ndri, di sebuah perusahaan sebagai marketing research. Wah, selamat ya. Sama pacar kamu yang dulu itu?”, tanyaku lagi.
“Iyalah, siapa lagi? eh kamu sama mas Kenan gimana? udah jadian belum? kalian kan dulu deket banget? udah...langsung nikah aja”, tanyanya yang membuatku kaget.
“A...aku sebenarnya...”, jawabku bingung.
“Eh Mel, sory buru-buru. Aku udah ditunggu suamiku. Pokoknya ku tunggu undangan dari kalian yaa. Daaa....”, katanya sambil terburu-buru.
          Selepas kepergian Andria ada rasa sesak yang tiba-tiba menyumbat dadaku. Mungkin efek dari pertanyaan terakhirnya yang belum sempat kujawab. Kenan? ah kenapa ada yang menyebut nama pria itu lagi. Pria yang dulu pernah sangat kucintai. Ah andai saja sempat, ingin ku jawab pertanyaan tadi “aku memang pernah dekat dengan mas Kenan, dan aku pernah mencintainya. Tapi ia tak pernah mencintaiku, jadi kami ga akan mungkin berpacaran”. Tapi Andria terlanjur pergi dan jawaban ini serasa menggantung di ujung lidahku.
          Pertanyaan Andria membuat pikiranku dipenuhi kembali oleh pemilik nama Kenan. Pria yang telah bertahun-tahun berhasil mencuri hatiku, namun tak pernah sedetik pun aku mampu mencuri hatinya. Sudah lebih dari setahun ini pula aku mencoba move on darinya. Namun setiap kali ada orang yang menyebut namanya, atau menanyakan kembali kedekatan di antara kami, bayangannya kembali melintas. Seakan ia enggan merelakan dirinya dilupakan olehku. Seperti saat ini, dirinya kembali menyeruak hadir di antara ribuan tetes air hujan yang ditumpahkan langit.
Tanpa sadar aku mengambil sebuah kertas dan menulis sebuah puisi
Kamu serupa hujan
yang basah menyejukkan bumi
lalu pergi menuju laut tanpa perduli aku
kamu serupa hujan
yang rintiknya dapat kusentuh
namun tak pernah dapat kugenggam
kau tinggalkan jejak yang kusebut kenangan
menghilang terbakar panas matahari
lalu kembali lagi sebagai kamu
          Di bawah puisi itu ku tulis catatan. “Aku tak pernah datangkan kamu ke hidupku. Tak pernah pula berniat hadirkan cinta di hatiku. Namun aku tak pernah mampu menolak saat kerinduan ini hadir menyapaku. Aku hanyalah aku, yang logikaku terasa lumpuh berhadapan denganmu. Cinta yang memaksaku untuk memahamimu. Seringkali logika mengeluh, saat hati terlalu terpedaya oleh bayanganmu. Apakah ini yang disebut kebodohan? Ku rasa tidak. Mungkin ini hanya sisa rasa yang masih ingin muncul kala sepi menemaniku. Bibir ini kupaksa melukiskan senyum saat mereka riuh mengalunkan namamu. Berapa lama lagi kamu bertahan disini? di tempat seharusnya aku menghirup udara sebebas-bebasnya tanpa rasa sesak karena himpitan pikiran-pikiran tentangmu. Pergilah. Aku hanya ingin mengenangmu sebagai tumpukan kisah yang akan kusimpan dalam kotak masa laluku. Bukan hujan yang kurindukan kehadirannya lalu pergi tanpa sepatah kata permisi pun. Sore ini, di batas senja dan hujan, aku melepasmu”.
          Kusruput habis sisa vanilla latte ku, lalu pergi meninggalkan cafe itu. Menembus rintik hujan yang masih serasa kamu.

Senja ke 365



Suatu sore berlatarkan langit senja yang cerah, kita duduk di atas hamparan pasir, memandang warna biru lautan. Sore itu alam nampak sempurna menjadi latar perbincangan kita.
“Sudah sore, ayo kita pulang. Perjalanan yang harus kita tempuh masih cukup jauh”, katamu padaku.
“Aku masih ingin disini, menikmati matahari tenggelam”, jawabku.
“Baiklah”, katamu sembari kembali duduk.
“Kenapa kau suka senja?”, tanyamu.
“Aku tak begitu suka senja. Aku hanya mencoba menikmati kesempurnaan alam yang sering dikatakan orang-orang”, jawabku. “Bukankah dirimu yang pemuja senja?”, kataku balik bertanya.
“Iya”, jawabmu singkat.
Lalu kembali sunyi, hanya deburan suara ombak mengisi kosong di antara kita.
“Mengapa kau masih mencintaiku?”, tanyamu tiba-tiba.
“Aku tak tahu. Mungkin karena kau telah mengunci hatiku”, jawabku sekenanya.
“Aku tak pernah mengunci hatimu”, balasmu ketus.
“Oh, maaf. Mungkin aku yang terlalu mengikatkan hatiku padamu”, jawabku sambil menunduk.
“Nay, mengapa kau tidak mencoba berhenti mencintaiku?”. Kali ini suaramu terdengar pelan, setengah berbisik.
“Aku ingin, tapi aku tak pernah tau caranya Dan. Andai aku tau sebab mengapa aku mencintaimu, aku juga pasti menemukan jawaban agar bisa berhenti mencintaimu. Aku sudah mencoba mengingat segala perilaku burukmu selama ini. Aku mencoba selalu mengingat bahwa kau tak pernah mencintaiku. Pada akhirnya perasaan ini tak pernah mau menyerah untuk tetap tinggal”, jawabku. Aku menahan genangan air mata di sudut mataku. Aku tak ingin kau melihatku menangis.
“Nay, lepaskan aku. Kumohon”, katamu setengah meminta.
“Aku sudah pernah melepaskanmu. Tapi kenapa akhirnya kau kembali padaku? Aku bukan mainan Dan”, kataku mencoba tegas.
Lalu kami kembali terdiam. Tenggelam dalam gemuruh suara hati masing-masing. Mataku rasanya semakin tak sanggup menahan butiran air mata yang bersiap-siap jatuh.
“Maafkan aku Nay. Mungkin aku merasa terlalu nyaman denganmu”, katamu lirih.
“Maafkan aku juga Dan. Tak seharusnya aku menuruti perasaanku hingga akhirnya justru melukaimu. Seharusnya aku sadar, kau tak pernah menginginkan perasaanku”, jawabku sambil menangis. Air mata ini sudah benar-benar tak mampu kutahan. Semilir angin semakin menambah pilu hatiku.
“Bukan begitu Nay, tapi...”.
“Tapi apa Dan? tapi kau masih mencintainya? atau kau tak pernah mampu untuk mencintaiku? atau aku terlalu tak pantas untukmu?”, jawabku memotong perkataannya. Tak kusangka kalimat itu melucur begitu saja dari mulutku. Kali ini pertahanan batinku benar-benar roboh. Ada rasa yang luar biasa perih begitu aku selesai mengucapkan kalimat-kalimat curahan hatiku itu.
Dan kau hanya mampu terdiam memandangiku sambil meneteskan air mata. Aku sadar pertanyaanku menyakitimu.
Namun kucoba menegarkan hatiku. Kusibakkan rambut yang menutupi wajahku karena hembusan angin. Dengan lirih aku mencoba berkata padamu. “Baiklah Dan kalo itu maumu. Aku akan pergi agar kau tidak lagi merasa tak nyaman dengan perasaaanku”.
“Apa maksudmu, Nay?”, tanyamu kebingungan.
“Minggu depan aku akan ke Bandung. Aku sudah resign dari pekerjaanku di Solo. Dan aku sudah mendapatkan pekerjaan di Bandung”, jawabku.
“Mengapa kau melakukan ini semua Nay? mengapa kau tidak mengatakan padaku?”, tanyamu setengah membentak.
“Buat apa Dan? toh apapun yang aku lakukan dan terjadi padaku, kau tidak akan pernah peduli”. Kembali kata-kata pedas keluar dari mulutku.
“Maafkan aku Nay”, katamu dengan wajah tertunduk.
“Kapan kau akan pergi?”, tanyamu pelan.
“Lusa aku akan pulang, setelah itu aku akan pergi ke Bandung. Aku harus bertemu orang tuaku dulu”, jawabku sambil memandang lurus ke depan. Aku tak mau melihat wajahnya. Aku takut keputusanku akan goyah.
“Kau akan kembali ke Solo?”, tanyamu.
“Aku tak tahu. Aku cinta kota itu, tapi aku tak yakin aku ingin kembali kesana”, jawabku pelan.
“Nay, maukah kau berjanji satu hal padaku?”, tanyamu seperti memohon.
“Apa?”, aku masih tak mau memandang wajahnya.
“Di senja di hari ke 365 dari hari ini, berjanjilah kau akan kembali kesini. Di pantai ini, tempat kita berdiri memandang senja itu”, pintamu sambil menunjuk matahari senja yang semakin tenggelam.
“Kenapa?”, tanyaku tak mengerti.
“Aku akan memberi jawaban atas perasaanmu padaku”, jawabmu.
“Untuk apa Dan?”, tanyaku sambil mengeryitkan dahi. Aku masih tak mengerti atas permintaannya yang terdengar aneh bagiku.
“Kumohon, turuti saja permintaanku. Please”, jawabmu dengan wajah memelas.
“Aku tak tahu Dan. Mungkin setelah 365 hari perasaanku padamu telah tak berarti apa-apa. Mungkin akan ada lelaki lain yang membebaskan aku dari kunci hatimu. Entahlah”, jawabku menolak permintaannya.
“Baiklah, kalaupun itu terjadi, aku tetap akan menunggumu di senja ke 365 itu disini. Kuharap kau akan datang”, jawabmu tegas.
“Sekarang ayo kita pulang. Hari semakin malam”, ajakmu.
“Baiklah”, jawabku.
Kami bergegas pulang ke Solo. Sore itu, dinaungi langit senja yang memerah, kami meninggalkan titik yang akan menjadi saksi pada senja ke 365 nanti. Entah pada akhirnya kami akan kembali berdiri di titik itu atau tidak, senja ke 365 yang akan menjawabnya nanti.
*to be continued*