Friday, January 31, 2014

Senja ke 365



Suatu sore berlatarkan langit senja yang cerah, kita duduk di atas hamparan pasir, memandang warna biru lautan. Sore itu alam nampak sempurna menjadi latar perbincangan kita.
“Sudah sore, ayo kita pulang. Perjalanan yang harus kita tempuh masih cukup jauh”, katamu padaku.
“Aku masih ingin disini, menikmati matahari tenggelam”, jawabku.
“Baiklah”, katamu sembari kembali duduk.
“Kenapa kau suka senja?”, tanyamu.
“Aku tak begitu suka senja. Aku hanya mencoba menikmati kesempurnaan alam yang sering dikatakan orang-orang”, jawabku. “Bukankah dirimu yang pemuja senja?”, kataku balik bertanya.
“Iya”, jawabmu singkat.
Lalu kembali sunyi, hanya deburan suara ombak mengisi kosong di antara kita.
“Mengapa kau masih mencintaiku?”, tanyamu tiba-tiba.
“Aku tak tahu. Mungkin karena kau telah mengunci hatiku”, jawabku sekenanya.
“Aku tak pernah mengunci hatimu”, balasmu ketus.
“Oh, maaf. Mungkin aku yang terlalu mengikatkan hatiku padamu”, jawabku sambil menunduk.
“Nay, mengapa kau tidak mencoba berhenti mencintaiku?”. Kali ini suaramu terdengar pelan, setengah berbisik.
“Aku ingin, tapi aku tak pernah tau caranya Dan. Andai aku tau sebab mengapa aku mencintaimu, aku juga pasti menemukan jawaban agar bisa berhenti mencintaimu. Aku sudah mencoba mengingat segala perilaku burukmu selama ini. Aku mencoba selalu mengingat bahwa kau tak pernah mencintaiku. Pada akhirnya perasaan ini tak pernah mau menyerah untuk tetap tinggal”, jawabku. Aku menahan genangan air mata di sudut mataku. Aku tak ingin kau melihatku menangis.
“Nay, lepaskan aku. Kumohon”, katamu setengah meminta.
“Aku sudah pernah melepaskanmu. Tapi kenapa akhirnya kau kembali padaku? Aku bukan mainan Dan”, kataku mencoba tegas.
Lalu kami kembali terdiam. Tenggelam dalam gemuruh suara hati masing-masing. Mataku rasanya semakin tak sanggup menahan butiran air mata yang bersiap-siap jatuh.
“Maafkan aku Nay. Mungkin aku merasa terlalu nyaman denganmu”, katamu lirih.
“Maafkan aku juga Dan. Tak seharusnya aku menuruti perasaanku hingga akhirnya justru melukaimu. Seharusnya aku sadar, kau tak pernah menginginkan perasaanku”, jawabku sambil menangis. Air mata ini sudah benar-benar tak mampu kutahan. Semilir angin semakin menambah pilu hatiku.
“Bukan begitu Nay, tapi...”.
“Tapi apa Dan? tapi kau masih mencintainya? atau kau tak pernah mampu untuk mencintaiku? atau aku terlalu tak pantas untukmu?”, jawabku memotong perkataannya. Tak kusangka kalimat itu melucur begitu saja dari mulutku. Kali ini pertahanan batinku benar-benar roboh. Ada rasa yang luar biasa perih begitu aku selesai mengucapkan kalimat-kalimat curahan hatiku itu.
Dan kau hanya mampu terdiam memandangiku sambil meneteskan air mata. Aku sadar pertanyaanku menyakitimu.
Namun kucoba menegarkan hatiku. Kusibakkan rambut yang menutupi wajahku karena hembusan angin. Dengan lirih aku mencoba berkata padamu. “Baiklah Dan kalo itu maumu. Aku akan pergi agar kau tidak lagi merasa tak nyaman dengan perasaaanku”.
“Apa maksudmu, Nay?”, tanyamu kebingungan.
“Minggu depan aku akan ke Bandung. Aku sudah resign dari pekerjaanku di Solo. Dan aku sudah mendapatkan pekerjaan di Bandung”, jawabku.
“Mengapa kau melakukan ini semua Nay? mengapa kau tidak mengatakan padaku?”, tanyamu setengah membentak.
“Buat apa Dan? toh apapun yang aku lakukan dan terjadi padaku, kau tidak akan pernah peduli”. Kembali kata-kata pedas keluar dari mulutku.
“Maafkan aku Nay”, katamu dengan wajah tertunduk.
“Kapan kau akan pergi?”, tanyamu pelan.
“Lusa aku akan pulang, setelah itu aku akan pergi ke Bandung. Aku harus bertemu orang tuaku dulu”, jawabku sambil memandang lurus ke depan. Aku tak mau melihat wajahnya. Aku takut keputusanku akan goyah.
“Kau akan kembali ke Solo?”, tanyamu.
“Aku tak tahu. Aku cinta kota itu, tapi aku tak yakin aku ingin kembali kesana”, jawabku pelan.
“Nay, maukah kau berjanji satu hal padaku?”, tanyamu seperti memohon.
“Apa?”, aku masih tak mau memandang wajahnya.
“Di senja di hari ke 365 dari hari ini, berjanjilah kau akan kembali kesini. Di pantai ini, tempat kita berdiri memandang senja itu”, pintamu sambil menunjuk matahari senja yang semakin tenggelam.
“Kenapa?”, tanyaku tak mengerti.
“Aku akan memberi jawaban atas perasaanmu padaku”, jawabmu.
“Untuk apa Dan?”, tanyaku sambil mengeryitkan dahi. Aku masih tak mengerti atas permintaannya yang terdengar aneh bagiku.
“Kumohon, turuti saja permintaanku. Please”, jawabmu dengan wajah memelas.
“Aku tak tahu Dan. Mungkin setelah 365 hari perasaanku padamu telah tak berarti apa-apa. Mungkin akan ada lelaki lain yang membebaskan aku dari kunci hatimu. Entahlah”, jawabku menolak permintaannya.
“Baiklah, kalaupun itu terjadi, aku tetap akan menunggumu di senja ke 365 itu disini. Kuharap kau akan datang”, jawabmu tegas.
“Sekarang ayo kita pulang. Hari semakin malam”, ajakmu.
“Baiklah”, jawabku.
Kami bergegas pulang ke Solo. Sore itu, dinaungi langit senja yang memerah, kami meninggalkan titik yang akan menjadi saksi pada senja ke 365 nanti. Entah pada akhirnya kami akan kembali berdiri di titik itu atau tidak, senja ke 365 yang akan menjawabnya nanti.
*to be continued*

No comments:

Post a Comment