Suatu sore berlatarkan langit senja yang cerah,
kita duduk di atas hamparan pasir, memandang warna biru lautan. Sore itu alam
nampak sempurna menjadi latar perbincangan kita.
“Sudah sore, ayo kita pulang. Perjalanan yang harus
kita tempuh masih cukup jauh”, katamu padaku.
“Aku masih ingin disini, menikmati matahari
tenggelam”, jawabku.
“Baiklah”, katamu sembari kembali duduk.
“Kenapa kau suka senja?”, tanyamu.
“Aku tak begitu suka senja. Aku hanya mencoba
menikmati kesempurnaan alam yang sering dikatakan orang-orang”, jawabku.
“Bukankah dirimu yang pemuja senja?”, kataku balik bertanya.
“Iya”, jawabmu singkat.
Lalu kembali sunyi, hanya deburan suara ombak
mengisi kosong di antara kita.
“Mengapa kau masih mencintaiku?”, tanyamu tiba-tiba.
“Aku tak tahu. Mungkin karena kau telah mengunci
hatiku”, jawabku sekenanya.
“Aku tak pernah mengunci hatimu”, balasmu ketus.
“Oh, maaf. Mungkin aku yang terlalu mengikatkan
hatiku padamu”, jawabku sambil menunduk.
“Nay, mengapa kau tidak mencoba berhenti mencintaiku?”.
Kali ini suaramu terdengar pelan, setengah berbisik.
“Aku ingin, tapi aku tak pernah tau caranya Dan.
Andai aku tau sebab mengapa aku mencintaimu, aku juga pasti menemukan jawaban
agar bisa berhenti mencintaimu. Aku sudah mencoba mengingat segala perilaku
burukmu selama ini. Aku mencoba selalu mengingat bahwa kau tak pernah
mencintaiku. Pada akhirnya perasaan ini tak pernah mau menyerah untuk tetap
tinggal”, jawabku. Aku menahan genangan air mata di sudut mataku. Aku tak ingin
kau melihatku menangis.
“Nay, lepaskan aku. Kumohon”, katamu setengah
meminta.
“Aku sudah pernah melepaskanmu. Tapi kenapa akhirnya
kau kembali padaku? Aku bukan mainan Dan”, kataku mencoba tegas.
Lalu kami kembali terdiam. Tenggelam dalam gemuruh
suara hati masing-masing. Mataku rasanya semakin tak sanggup menahan butiran
air mata yang bersiap-siap jatuh.
“Maafkan aku Nay. Mungkin aku merasa terlalu nyaman
denganmu”, katamu lirih.
“Maafkan aku juga Dan. Tak seharusnya aku menuruti
perasaanku hingga akhirnya justru melukaimu. Seharusnya aku sadar, kau tak
pernah menginginkan perasaanku”, jawabku sambil menangis. Air mata ini sudah
benar-benar tak mampu kutahan. Semilir angin semakin menambah pilu hatiku.
“Bukan begitu Nay, tapi...”.
“Tapi apa Dan? tapi kau masih mencintainya? atau kau
tak pernah mampu untuk mencintaiku? atau aku terlalu tak pantas untukmu?”,
jawabku memotong perkataannya. Tak kusangka kalimat itu melucur begitu saja
dari mulutku. Kali ini pertahanan batinku benar-benar roboh. Ada rasa yang luar
biasa perih begitu aku selesai mengucapkan kalimat-kalimat curahan hatiku itu.
Dan kau hanya mampu terdiam memandangiku sambil
meneteskan air mata. Aku sadar pertanyaanku menyakitimu.
Namun kucoba menegarkan hatiku. Kusibakkan rambut
yang menutupi wajahku karena hembusan angin. Dengan lirih aku mencoba berkata
padamu. “Baiklah Dan kalo itu maumu. Aku akan pergi agar kau tidak lagi merasa
tak nyaman dengan perasaaanku”.
“Apa maksudmu, Nay?”, tanyamu kebingungan.
“Minggu depan aku akan ke Bandung. Aku sudah resign
dari pekerjaanku di Solo. Dan aku sudah mendapatkan pekerjaan di Bandung”,
jawabku.
“Mengapa kau melakukan ini semua Nay? mengapa kau
tidak mengatakan padaku?”, tanyamu setengah membentak.
“Buat apa Dan? toh apapun yang aku lakukan dan
terjadi padaku, kau tidak akan pernah peduli”. Kembali kata-kata pedas keluar
dari mulutku.
“Maafkan aku Nay”, katamu dengan wajah tertunduk.
“Kapan kau akan pergi?”, tanyamu pelan.
“Lusa aku akan pulang, setelah itu aku akan pergi ke
Bandung. Aku harus bertemu orang tuaku dulu”, jawabku sambil memandang lurus ke
depan. Aku tak mau melihat wajahnya. Aku takut keputusanku akan goyah.
“Kau akan kembali ke Solo?”, tanyamu.
“Aku tak tahu. Aku cinta kota itu, tapi aku tak
yakin aku ingin kembali kesana”, jawabku pelan.
“Nay, maukah kau berjanji satu hal padaku?”, tanyamu
seperti memohon.
“Apa?”, aku masih tak mau memandang wajahnya.
“Di senja di hari ke 365 dari hari ini, berjanjilah kau
akan kembali kesini. Di pantai ini, tempat kita berdiri memandang senja itu”,
pintamu sambil menunjuk matahari senja yang semakin tenggelam.
“Kenapa?”, tanyaku tak mengerti.
“Aku akan memberi jawaban atas perasaanmu padaku”,
jawabmu.
“Untuk apa Dan?”, tanyaku sambil mengeryitkan dahi.
Aku masih tak mengerti atas permintaannya yang terdengar aneh bagiku.
“Kumohon, turuti saja permintaanku. Please”,
jawabmu dengan wajah memelas.
“Aku tak tahu Dan. Mungkin setelah 365 hari
perasaanku padamu telah tak berarti apa-apa. Mungkin akan ada lelaki lain yang
membebaskan aku dari kunci hatimu. Entahlah”, jawabku menolak permintaannya.
“Baiklah, kalaupun itu terjadi, aku tetap akan
menunggumu di senja ke 365 itu disini. Kuharap kau akan datang”, jawabmu tegas.
“Sekarang ayo kita pulang. Hari semakin malam”,
ajakmu.
“Baiklah”, jawabku.
Kami bergegas pulang ke Solo. Sore itu, dinaungi
langit senja yang memerah, kami meninggalkan titik yang akan menjadi saksi pada
senja ke 365 nanti. Entah pada akhirnya kami akan kembali berdiri di titik itu
atau tidak, senja ke 365 yang akan menjawabnya nanti.
*to be continued*
No comments:
Post a Comment