“Pak,
Madiun Jaya 1 orang”, kata Senja dari luar jendela pos tiket Statiun Mugowo
pada petugas yang berjaga sendiri di dalam pos tersebut. Sore itu mungkin senja
terakhir di bentang Merapi yang Senja dapati jadwal kereta pukul 16.35 ia
ambil.
Panggilan tes kerja harus Senja jalani di Solo, fresh graduate Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tersebut, menggandaikan ijasahnya di sebuah Harian Umum Lokal di Kota Solo. Kecintaannya pada dunia penulisan membawanya masuk dalam dunia jurnalistik.
“Kereta Madiun Jaya pada jalur 4 tujuan Solo Balapan segera masuk”, demikian ucap petugas di balik suara microfon.
Panggilan tes kerja harus Senja jalani di Solo, fresh graduate Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tersebut, menggandaikan ijasahnya di sebuah Harian Umum Lokal di Kota Solo. Kecintaannya pada dunia penulisan membawanya masuk dalam dunia jurnalistik.
“Kereta Madiun Jaya pada jalur 4 tujuan Solo Balapan segera masuk”, demikian ucap petugas di balik suara microfon.
Senja mempersiapkan diri, berdiri di
tepi area tunggu Statiun Maguwo. Perjalanan menuju Solo Senja sangat menikmati
nyamannya moda transportasi yang satu ini, tidak ada tiket berdiri, gerbong
ber-ac dan full musik, rasanya lengkap sudah pelayanan minimal yang Senja dan
penumpang lain butuhkan. Senja asyik membuang mukanya kea rah jendela, melihat
hamparan hijau persawahan milik Klaten, wilayah praja Kota Solo, pemukiman
padat penduduk di area tepi perlintasan kereta api, aktivitas sore para
penduduk yang mampu dipotret oleh mata gadis Yogya tersebut.
Kata orang tidak ada kata berpisah,
tapi nyatanya yang Senja rasakan dalam kereta sore itu momen graduation
layaknya sebuah sayonara. Selesai lulus sekolah dasar, Senja dan 37 teman
sekelasnya harus berpisah dalam sekolah menengah yang berbeda-beda, begitu pula
dibangku mahasiswa. Teman-teman kuliah Senja sudah berkemas meninggalkan kost
masing-masing, angkat koper dari Kota Gudeg untuk meniti masa depan yang banyak
orang bilang masa depan itu menyoal cita dan cinta. Teman-temannya kembali ke
kampung halaman, pulau di seberang Jawa, kota di barat Jawa atau kembali ke
ketiak ibu masing-masing tanpa bermaksud menjadi benalu. Rantau menjadi pilihan
Senja, cukup Kota Solo tetangga dekat dari Yogyakarta. Senja tahu, atmosfir
Solo tak berbeda jauh dengan Yogyakarta. Kental suasana budaya, penduduk yang
ramah tamah, dan suasana Jawa yang hanya sedikit berbeda. Senja mulai berhenti
membuang muka ke jendela, di luar mulai gelap, hanya lampu-lampu rumah penduduk
yang terkadang terlihat seperti hamparan bukit bintang.
Terkirim:
17:07:29
04-08-2011
Pesan telah terkirim
17:07:29
04-08-2011
Pesan telah terkirim
Defi
+628752309765
(1 new
message)
Defi (+628752309765)
Maaf Senja,
aku ga bisa.Lagi ada acara.Kamu dimana??biar temenku yang jemput.
Oke.Yang
penting aku ada yang jemput.Aku tunggu di depan pintu keluar stasiun Purwosari
yaa.Temenmu pake baju apa??Aku pake baju kuning
(message
delivered)
(1 new
message)
Temenku
cowok pake kaus hijau.tunggu aja
15 menit
menunggu, seorang cowok berbaju hijau menggunakan motor Shogun 125R warna
merah.
“Kamu Senja
kan?”, tanyamu padaku
“Iya,kamu
siapa?”, balasku.
“Aku Fajar,
temennya Defi. Aku diminta jemput kamu. Kamu mau diantar kemana??”, tanyamu
lagi.
“Oh. Antar
ke kosku saja.Di daerah belakang terminal Tirtonadi. Makasih yaa udah jemput”,
ucapku.
“Oke, no
problem”, balasmu.
Begitulah
awal perkenalan kita.
***
Hari ini
kita bertemu lagi, di acara perkumpulan penggemar fotografi di Solo.
“Hey”,
sapamu.
“Eh kamu,
ada disini juga”, balasku.
“Iya. Aku
penggemar fotografi juga. Kamu juga suka fotografi??”, tanyamu.
“Sebenarnya
iseng aja sih. Baru belajar dikit-dikit. Oiya, kamu kayaknya udah profesional.
Bolehlah aku diajari”, kataku.
“Ah engga
juga. boleh deh kapan-kapan. Tapi aku lebih suka foto alam. Jadi kalo kamu
minta diajari obyek foto yang lainnya, aku ga begitu mahir”, jawabmu sambil
tersenyum.
Ah manis
sekali senyummu, batinku.
“Oke, aku
juga suka pemandangan alam”, balasku sambil tersenyum ceria. Akhirnya aku
belajar fotografi juga, sorakku dalam hati.
Begitulah akhirnya, setiap akhir
minggu kita bertemu. Aku menimba ilmu fotografi darimu. Toh ini sangat
menunjang kemampuanku dalam melaksanakan profesi sebagai wartawan. Aku sangat
suka hobi baru ini. Dan (mungkin) aku sangat suka kamu yang jadi guruku.
Tiga bulan di kota ini, aku pun
menjadi jatuh cinta pada kota Solo. Penduduknya yang ramah, kebudayaannya,
event-eventnya, kulinernya, semuanya tentang Solo. Dan juga kamu. Kamu?? Ah aku
tak yakin kalau aku jatuh cinta padamu. Mungkin aku hanya sebatas kagum. Kagum
pada penampilanmu yang sederhana, gaya bicaramu yang luwes dan lugas, sifat
ramah tamahmu pada semua orang yang kau kenal, dan mungkin paling kagum pada
kebaikan hatimu yang mau mengajariku fotografi tanpa imbalan apapun. Dan aku hanya
menikmati pertemanan kita. Jadi tak mungkin aku jatuh cinta padamu, ucapku
keras dalam hati.
Semakin lama aku mengenalmu, semakin
ada rasa yang berbeda. Mulai ada getar yang aneh setiap melihatmu. Mulai ada
rasa kosong jika kau tak ada di dekatku. Mungkinkah aku jatuh cinta padamu. Ah
rasanya tak mungkin, tak mungkin aku mencintaimu. Tapi semakin keras aku
menyangkalnya, semakin hatiku mengatakan sebaliknya. Akhirnya aku menyadari,
aku memang jatuh cinta padamu.
***
Sore ini kau mengajakku ke pantai
Parangtritis. Katamu sudah lama kau ingin main kesana, tapi belum sempat. Dan
sebagai orang Jogja, kau memintaku untuk harus menemanimu. Sekalian kita
foto-foto disana, alasanmu.
“Senja, kau
ingat berapa lama kita berkenalan?? “, tanyamu tiba-tiba ketika kaki kita
menyusuri pasir pantai yang sedikit basah.
“6 bulan,
kenapa”, jawabku sambil balik bertanya.
“Enggak.
Rasanya kayak udah lama sekali”, ucapmu sambil tersenyum.
“Mungkin
karena kamu melihat senja setiap hari, bahkan semenjak kamu kecil dan kita belum bertemu”, balasku.
“Iya ya,
fajar dan senja sebenarnya sangat dekat. Mereka hanya terpisah oleh malam”,
jawabmu.
Lalu kembali
kita terdiam. Menikmati matahari sore yang hampir tenggelam.
“Senja, aku
ingin mengatakan sesuatu padamu”, ucapmu tiba-tiba, memecah keheningan di
antara kita yang sempet terjadi beberapa menit itu.
“Apa??
katakan saja”, jawabku.
Lalu kau
terdiam selama beberapa detik. Menghirup lalu menghembuskan nafas. Agak berat.
“Entah
kenapa sejak pertama kali aku melihatmu, hatiku sudah memiliki rasa yang
berbeda. Awalnya aku tak yakin, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku sadar ini
cinta. Maukah kau menjadi kekasihku?? wanita spesial yang mengisi kekosongan
hatiku?? “, katamu mengungkapkan isi hatimu.
Aku
terhenyak. Kaget dengan kata-katamu yang diterima oleh gendang telingaku. Beberapa
saat aku terdiam, memikirkan jawaban apa yang akan kusampaikan padamu.
“Iya”,
jawabku pelan sambil tersenyum
Langsung
saja kau memelukku
“Terima
kasih cinta”, ucapmu pelan sambil tersenyum.
Sore itu, 15
Januari 2012, senja di langit Parangtritis menjadi saksi bersatunya cinta Senja
dan Fajar.
***
Sore ini kau
datang ke kosku.
“Sayang, maaf
aku harus pamit. Malam ini aku harus berangkat ke Jerman. Aku mendapat beasiswa
disana. Dan aku harus kesana untuk menjalani tes wawancara sebelum benar-benar
resmi diterima menjadi mahasiswa sana. Maaf jika mendadak. Aku juga baru
mendapat kabar pagi tadi. Dan siang tadi aku mengurus surat-surat yang harus
aku bawa untuk pergi kesana” jelasmu padaku dengan terburu-buru.
Dan otakku
masih berusaha mencerna kata-katamu. Rasanya masih sulit menerima apa yang baru
saja kau sampaikan. Lalu aku hanya bisa menangis dalam pelukanmu.
***
Hari ini aku
sengaja datang ke Pantai Parangtritis sendirian. Ingin aku menikmati suasana di
tempat yang menjadi saksi bersatunya cinta kita dulu. Perlahan-lahan kubuka
surat yang kau berikan kepadaku sebulan lalu, saat kau berpamitan sebelum
berangkat ke Jerman. Kubaca perlahan-lahan:
Dear cinta,
Hari ini
kubiarkan penaku menari-nari diatas kertas. Mengikuti nyanyian hati yang
terbalut hampa. Esok hari ketika matahari pagi menyapa bumi, mungkin kita sudah
akan berada di tempat yang berbeda. Pada langit sore cahaya senja ku titipkan.
Kelak jika aku kembali, mungkin fajar akan serupa senja. Ku pesankan pula pada
langit malam. Hey kau malam, jangan kau ganggu senjaku. Cukup bintang dan bulan
menjadi temanmu. Karena senja hanya akan menjadi milik fajar. Untuk Senja ku,
jaga dirimu yaa. Di kotaku, akan selalu kutunggu cahayamu di langit sore.
Tunggu aku juga disini. Kelak, cahaya senja dan fajar akan kembali bersinar di
satu kota, kota kita.
Fajar Arifian,
yang selalu mencintaimu.
Kututup
surat itu. Di ujung sore ini, ku tuliskan namamu di atas pasir Parangtritis. Kelak,
meskipun malam memisahkan kita, namun Senja dan Fajar akan tetap bersatu.
Biarlah lukisan alam sore ini yang menjadi saksi atas janjiku. Senja dan Fajar
di Parangtritis.
No comments:
Post a Comment