Thursday, October 25, 2012

Senja di Parangtritis



“Pak, Madiun Jaya 1 orang”, kata Senja dari luar jendela pos tiket Statiun Mugowo pada petugas yang berjaga sendiri di dalam pos tersebut. Sore itu mungkin senja terakhir di bentang Merapi yang Senja dapati jadwal kereta pukul 16.35 ia ambil.
Panggilan tes kerja harus Senja jalani di Solo, fresh graduate Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tersebut, menggandaikan ijasahnya di sebuah Harian Umum Lokal di Kota Solo. Kecintaannya pada dunia penulisan membawanya masuk dalam dunia jurnalistik.
“Kereta Madiun Jaya pada jalur 4 tujuan Solo Balapan segera masuk”, demikian ucap petugas di balik suara microfon.
          Senja mempersiapkan diri, berdiri di tepi area tunggu Statiun Maguwo. Perjalanan menuju Solo Senja sangat menikmati nyamannya moda transportasi yang satu ini, tidak ada tiket berdiri, gerbong ber-ac dan full musik, rasanya lengkap sudah pelayanan minimal yang Senja dan penumpang lain butuhkan. Senja asyik membuang mukanya kea rah jendela, melihat hamparan hijau persawahan milik Klaten, wilayah praja Kota Solo, pemukiman padat penduduk di area tepi perlintasan kereta api, aktivitas sore para penduduk yang mampu dipotret oleh mata gadis Yogya tersebut.
          Kata orang tidak ada kata berpisah, tapi nyatanya yang Senja rasakan dalam kereta sore itu momen graduation layaknya sebuah sayonara. Selesai lulus sekolah dasar, Senja dan 37 teman sekelasnya harus berpisah dalam sekolah menengah yang berbeda-beda, begitu pula dibangku mahasiswa. Teman-teman kuliah Senja sudah berkemas meninggalkan kost masing-masing, angkat koper dari Kota Gudeg untuk meniti masa depan yang banyak orang bilang masa depan itu menyoal cita dan cinta. Teman-temannya kembali ke kampung halaman, pulau di seberang Jawa, kota di barat Jawa atau kembali ke ketiak ibu masing-masing tanpa bermaksud menjadi benalu. Rantau menjadi pilihan Senja, cukup Kota Solo tetangga dekat dari Yogyakarta. Senja tahu, atmosfir Solo tak berbeda jauh dengan Yogyakarta. Kental suasana budaya, penduduk yang ramah tamah, dan suasana Jawa yang hanya sedikit berbeda. Senja mulai berhenti membuang muka ke jendela, di luar mulai gelap, hanya lampu-lampu rumah penduduk yang terkadang terlihat seperti hamparan bukit bintang.
18.25, kereta sampai di Purwosari, kalau bisa jemput aku, aku minta tolong jemput ya..
Mksh
Terkirim:
17:07:29
04-08-2011
Pesan telah terkirim
Defi
+628752309765
(1 new message)
Defi (+628752309765)
Maaf Senja, aku ga bisa.Lagi ada acara.Kamu dimana??biar temenku yang jemput.

Oke.Yang penting aku ada yang jemput.Aku tunggu di depan pintu keluar stasiun Purwosari yaa.Temenmu pake baju apa??Aku pake baju kuning
(message delivered)

(1 new message)
Temenku cowok pake kaus hijau.tunggu aja

15 menit menunggu, seorang cowok berbaju hijau menggunakan motor Shogun 125R warna merah.
“Kamu Senja kan?”, tanyamu padaku
“Iya,kamu siapa?”, balasku.
“Aku Fajar, temennya Defi. Aku diminta jemput kamu. Kamu mau diantar kemana??”, tanyamu lagi.
“Oh. Antar ke kosku saja.Di daerah belakang terminal Tirtonadi. Makasih yaa udah jemput”, ucapku.
“Oke, no problem”, balasmu.
Begitulah awal perkenalan kita.

***
Hari ini kita bertemu lagi, di acara perkumpulan penggemar fotografi di Solo.
“Hey”, sapamu.
“Eh kamu, ada disini juga”, balasku.
“Iya. Aku penggemar fotografi juga. Kamu juga suka fotografi??”, tanyamu.
“Sebenarnya iseng aja sih. Baru belajar dikit-dikit. Oiya, kamu kayaknya udah profesional. Bolehlah aku diajari”, kataku.
“Ah engga juga. boleh deh kapan-kapan. Tapi aku lebih suka foto alam. Jadi kalo kamu minta diajari obyek foto yang lainnya, aku ga begitu mahir”, jawabmu sambil tersenyum.
Ah manis sekali senyummu, batinku.
“Oke, aku juga suka pemandangan alam”, balasku sambil tersenyum ceria. Akhirnya aku belajar fotografi juga, sorakku dalam hati.
          Begitulah akhirnya, setiap akhir minggu kita bertemu. Aku menimba ilmu fotografi darimu. Toh ini sangat menunjang kemampuanku dalam melaksanakan profesi sebagai wartawan. Aku sangat suka hobi baru ini. Dan (mungkin) aku sangat suka kamu yang jadi guruku.
          Tiga bulan di kota ini, aku pun menjadi jatuh cinta pada kota Solo. Penduduknya yang ramah, kebudayaannya, event-eventnya, kulinernya, semuanya tentang Solo. Dan juga kamu. Kamu?? Ah aku tak yakin kalau aku jatuh cinta padamu. Mungkin aku hanya sebatas kagum. Kagum pada penampilanmu yang sederhana, gaya bicaramu yang luwes dan lugas, sifat ramah tamahmu pada semua orang yang kau kenal, dan mungkin paling kagum pada kebaikan hatimu yang mau mengajariku fotografi tanpa imbalan apapun. Dan aku hanya menikmati pertemanan kita. Jadi tak mungkin aku jatuh cinta padamu, ucapku keras dalam hati.
          Semakin lama aku mengenalmu, semakin ada rasa yang berbeda. Mulai ada getar yang aneh setiap melihatmu. Mulai ada rasa kosong jika kau tak ada di dekatku. Mungkinkah aku jatuh cinta padamu. Ah rasanya tak mungkin, tak mungkin aku mencintaimu. Tapi semakin keras aku menyangkalnya, semakin hatiku mengatakan sebaliknya. Akhirnya aku menyadari, aku memang jatuh cinta padamu.

***
          Sore ini kau mengajakku ke pantai Parangtritis. Katamu sudah lama kau ingin main kesana, tapi belum sempat. Dan sebagai orang Jogja, kau memintaku untuk harus menemanimu. Sekalian kita foto-foto disana, alasanmu.
“Senja, kau ingat berapa lama kita berkenalan?? “, tanyamu tiba-tiba ketika kaki kita menyusuri pasir pantai yang sedikit basah.
“6 bulan, kenapa”, jawabku sambil balik bertanya.
“Enggak. Rasanya kayak udah lama sekali”, ucapmu sambil tersenyum.
“Mungkin karena kamu melihat senja setiap hari, bahkan semenjak kamu kecil dan kita  belum bertemu”, balasku.
“Iya ya, fajar dan senja sebenarnya sangat dekat. Mereka hanya terpisah oleh malam”, jawabmu.
Lalu kembali kita terdiam. Menikmati matahari sore yang hampir tenggelam.
“Senja, aku ingin mengatakan sesuatu padamu”, ucapmu tiba-tiba, memecah keheningan di antara kita yang sempet terjadi beberapa menit itu.
“Apa?? katakan saja”, jawabku.
Lalu kau terdiam selama beberapa detik. Menghirup lalu menghembuskan nafas. Agak berat.
“Entah kenapa sejak pertama kali aku melihatmu, hatiku sudah memiliki rasa yang berbeda. Awalnya aku tak yakin, tapi semakin lama aku mengenalmu, aku sadar ini cinta. Maukah kau menjadi kekasihku?? wanita spesial yang mengisi kekosongan hatiku?? “, katamu mengungkapkan isi hatimu.
Aku terhenyak. Kaget dengan kata-katamu yang diterima oleh gendang telingaku. Beberapa saat aku terdiam, memikirkan jawaban apa yang akan kusampaikan padamu.
“Iya”, jawabku pelan sambil tersenyum
Langsung saja kau memelukku
“Terima kasih cinta”, ucapmu pelan sambil tersenyum.
Sore itu, 15 Januari 2012, senja di langit Parangtritis menjadi saksi bersatunya cinta Senja dan Fajar.

***
Sore ini kau datang ke kosku.
“Sayang, maaf aku harus pamit. Malam ini aku harus berangkat ke Jerman. Aku mendapat beasiswa disana. Dan aku harus kesana untuk menjalani tes wawancara sebelum benar-benar resmi diterima menjadi mahasiswa sana. Maaf jika mendadak. Aku juga baru mendapat kabar pagi tadi. Dan siang tadi aku mengurus surat-surat yang harus aku bawa untuk pergi kesana” jelasmu padaku dengan terburu-buru.
Dan otakku masih berusaha mencerna kata-katamu. Rasanya masih sulit menerima apa yang baru saja kau sampaikan. Lalu aku hanya bisa menangis dalam pelukanmu.

***
Hari ini aku sengaja datang ke Pantai Parangtritis sendirian. Ingin aku menikmati suasana di tempat yang menjadi saksi bersatunya cinta kita dulu. Perlahan-lahan kubuka surat yang kau berikan kepadaku sebulan lalu, saat kau berpamitan sebelum berangkat ke Jerman. Kubaca perlahan-lahan:
Dear cinta,
Hari ini kubiarkan penaku menari-nari diatas kertas. Mengikuti nyanyian hati yang terbalut hampa. Esok hari ketika matahari pagi menyapa bumi, mungkin kita sudah akan berada di tempat yang berbeda. Pada langit sore cahaya senja ku titipkan. Kelak jika aku kembali, mungkin fajar akan serupa senja. Ku pesankan pula pada langit malam. Hey kau malam, jangan kau ganggu senjaku. Cukup bintang dan bulan menjadi temanmu. Karena senja hanya akan menjadi milik fajar. Untuk Senja ku, jaga dirimu yaa. Di kotaku, akan selalu kutunggu cahayamu di langit sore. Tunggu aku juga disini. Kelak, cahaya senja dan fajar akan kembali bersinar di satu kota, kota kita.

Fajar Arifian,
yang selalu mencintaimu.

Kututup surat itu. Di ujung sore ini, ku tuliskan namamu di atas pasir Parangtritis. Kelak, meskipun malam memisahkan kita, namun Senja dan Fajar akan tetap bersatu. Biarlah lukisan alam sore ini yang menjadi saksi atas janjiku. Senja dan Fajar di Parangtritis.

No comments:

Post a Comment