Tuesday, October 30, 2012

Kita



Pada nyatanya kita adalah diri sendiri
dan mimpi-mimpi masih setia mengiringi
entah di titik mana kita akan berhenti
mengerem laju diri

mungkin kita akan bertemu di titik yang sama
tak lagi terpaut waktu dan jarak
menikmati aku dan kamu sebagai kita
terangkai dalam sebuah rasa yang disebut cinta

Kini kita masih sama-sama terdiam
menikmati diam dalam kelam
kelak di satu malam
bahagia akan terangkum dalam pejam

Monday, October 29, 2012

Mengenang Ria



Aku mengenalnya sejak 2 tahun lalu, ketika ia mendaftar di organisasiku, HIMAKOM FISIP UNS. Kala itu ada salah 1 pengurus yang merekomendasikannya.Katanya “Dia anak Smaga. Dulu dia di SMA ikut OSIS. Anaknya aktif banget dan bertanggung jawab”. Begitu orang yang direkomendasikan ini mendaftar dan ikut screening, dalam hati saya cuma bilang “cantik”. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan screening dengan tegas dan mantap. Mungkin itulah yang membuat kami, tim screener, memilihnya bergabung dengan HIMAKOM, 2010 lalu.
          Gadis cantik ini bernama Nurvitria Evasari, akrab disapa Ria. Tapi terkadang aku menyingkat namanya menjadi Nutrisari (kata Kiko karena di kelas ada yang naksir Ria, dan untuk menyamarkannya dipanggil begitu). Awal bergabung di HIMAKOM ia memang menunjukkan kalo ia adalah orang yang bertanggung jawab. Semua pekerjaan yang dibebankan padanya selalu dikerjakan dengan baik. Bahkan pada saat ia menduduki posisi sekretaris bidang dan menjadi satu-satunya cewek di bidang itu.
          Gadis yang selalu riang, tulus, mempesona, sopan, kalem, selalu tersenyum, ramah pada semua orang, tak pernah marah, tak pernah mengeluh, dan selalu membaur di semua kalangan. Itulah yang aku selalu kenang dari sosokmu selama 2 tahun ini. 1 hal yang selalu aku kagumi darimu, kau tak pernah melihat orang dari cover nya. Selalu saja dulu suka aku becandain “Ria, kamu kan cantik, cari pacarnya yang gantengan donk”. Dan selalu saja sambil tersenyum ia menjawab “yang penting hatinya ganteng mbak”. Ah, aku selalu suka jawaban itu.
          Aku masih ingat waktu itu aku dan Farida bercerita tentang HMI di depanmu dan Ayu Mutiara. Lalu kalian berdua serempak mengatakan “mbak, aku pengen masuk HMI donk”. Sungguh dalam hati seneng banget. 2 gadis cantik dan smart dengan sukarela tertarik masuk HMI. Dan aku masih inget juga waktu itu tiba-tiba kamu “gelar lapak” jualan inner jilbab di sekre. Dengan semangatnya kamu nawarin ke aku dan Winda “mbak mbak, ayo beli daleman jilbabnya. Ga bayar sekarang gapapa, yang penting dibeli dulu. Ntar jadi tambah cantik”. Dan karena bujuk rayumu itu akhirnya aku beli, walaupun cuma 1 :D. Kamu emang berjiwa pedagang. Dan sekarang tiap lihat inner merah maroon itu aku selalu inget kamu. Tak lama kemudian kamu menyusul kami berjilbab. Ah, kamu semakin cantik aja. Iri deh J
          Setahun ini kita diberi kesempatan untuk bersama-sama menjadi pengurus HMI. Kamu memang jarang ke komsat. Tetapi kamu tidak pernah absen mengajar di TPA. Selalu saja kamu punya inovasi memajukan TPA. Bikin bet TPA, ajak mereka jalan-jalan. Kamu selalu hadir dalam setiap kegiatan TPA. Ah, kamu dan putri memang sosok paling rajin dan paling populer di TPA. Aku iri pada kalian. Maaf ya, aku sering kali lupa jadwal TPA, dan terkadang kalopun inget, aku malas karena lebih memilih melakukan kegiatan lain. Di saat-saat terakhirmu pun kau masih rajin meminta buku bacaan anak-anak untuk program perpustakaan yang akan kau dirikan bersama Putri untuk adek-adek TPA. Kamu memang selalu tulus sama mereka.

          Di hari-hari terakhirmu kamu sering datang ke komsat. Ikut rahar, bantu persiapan pleno, padahal rumahmu cukup jauh. Aku yang kosnya masih dekat kampus aja terkadang malas kesana kalo tak ada yang penting menurutku. Aku masih ingat hari Selasa lalu, kamu datang ke komsat menjelang Isya’. Kamu bilang “udah selesai raharnya?? maaf ya telat”. Ah Ria, kamu aja masih bilang maaf karena telat datang di tengah kesibukanmu. Padahal aku yang datang telat karena malas pun tak mengucapkan apa-apa. Setelahnya kamu berpamitan pulang.
          Keesokan harinya, Rabu sore, kamu datang lagi ke komsat. Tak pernah menyangka itu pertemuan terakhir kita :’(. Sore itu kamu terlihat begitu cantik dengan baju ungumu. Kamu menulis nama di undangan pleno, kamu bermain gitar, menyanyikan “I will fly”, sementara aku dan Ayu Mutiara masih ngecroi  kamu tentang masa lalumu, dan sekali lagi, kamu hanya membalas sambil senyum-senyum. Maaf ya Ri, kalo mungkin becandaanku menyakitimu.
          Dan pagi itu, Minggu pagi pukul 00.30 WIB, sebuah sms dari nana masuk ke hpku “mbak Nin, Ria meninggal L”. Shock, terkejut aku menelpon Nana dan Kiko untuk memastikan kabar itu. Sesaat setelah Kiko mengatakan kebenaran kabar itu, aku langsung lemas. Dengan lunglai aku mengabari semua orang yang bisa ku kabari. Setelah mendapat kabar dari Arfi kalo jenazahmu ada di RS Muwardi, aku tak bisa membendung air mataku lagi. Begitu derasnya mereka jatuh, mengiringi rasa sesak dan sakit yang ada di dada. Rasanya aku segera pengen ke Solo untuk melihatnya langsung. Ku coba tidur untuk mengistirahatkan mata dan badanku yang seharian belum istirahat. Tapi pikiranku selalu melayang ke kamu. Rasanya seperti mimpi. Dan berharap ketika esok terbangun, kamu masih ada di antara kami. Dan jikalau itu nyata, rasanya ingin tidur saja agar tak menghadapi nyata itu.
          Pagi itu, Minggu 28 Oktober 2012, aku datang untuk kedua kalinya ke rumahmu. Tapi bukan untuk tadarus Al Qur’an seperti dulu, tapi untuk melihatmu terakhir kalinya sebelum kau di antar ke peristirahatan terakhirmu. Rasanya deg-deg an sekali saat akan masuk ke teras rumahmu. Masih berharap terjadinya keajaiban, nantinya yang akan kulihat di peti mati itu bukan kau. Kumasuki rumahmu perlahan-lahan, ku kuatkan hatiku setegar mungkin. Setelah menyalami semua orang yang ada di ruangan itu, perlaha-lahan kutengok isi peti itu. Dan itu kau adekku cantik. Sekuat mungkin aku menahan air mataku agar tidak jatuh. Aku tak ingin kau melihatku menangis di depan petimu. Kulihat kau tetap cantik, bahkan sangat cantik dan menawan. Kau seperti seorang putri yang sedang tertidur lelap. Senyummu indah dan damai. Aku selalu suka senyummu yang khas itu. Tapi kini aku melihat senyum itu dalam keadaan yang berbeda, dalam tubuhmu yang telah terbujur kaku. Kau seorang putri yang tidak akan pernah bangun lagi .
          Sekuatnya aku, tetap saja air mata ini akhirnya tak tertahankan. Ia mengalir deras ketika aku keluar meninggalkan ruangan tempat petimu disemayamkan sementara. Maaf adek, aku tak ingin membebani perjalananmu ke surga. Tapi hati ini masih terlalu sakit menerima kepergianmu yang tiba-tiba, tanpa firasat apapun. Ternyata sore itu pertemuan terakhir kita, perbincangan terakhir kita. Dan lagu I will fly yang kau nyanyikan sore itu menjadi caramu untuk berpamitan pada kami, bahwa kau akan terbang. Terbang ke tempat yang sangat jauh, ke surgaNya.
          Kami sayang kamu, tapi mungkin Allah lebih sayang kamu. Ia ingin menjagamu di surgaNya. Kamu dipanggil dalam usia yang masih muda. Kamu orang yang baik dek, cantik luar dalam. Begitulah kata setiap orang yang mengenal sosokmu. Ucapan-ucapan itu tulus. Begitu banyak orang yang hadir dan pergi untuk mengantarkan ke rumah abadimu adalah bukti bahwa kamu dikenang sebagai orang yang baik, dan kami semua menyayangimu. Meskipun sampai detik ini banyak diantara kami yang masih belum percaya atas kepergianmu. Damai di sana ya dek, sedamai senyummu. Doa kami akan mengiringimu dalam perjalananmu ke surga. Tetap senyum disana yaa..
          Terlalu banyak yang ingin aku tuliskan tentangmu Ri, tapi aku yakin tak akan cukup untuk menulis tentang semua hal baik yang ada padamu. Meskipun sampai detik ini aku masih berusaha keras agar air mataku tak lagi jatuh saat mengenangmu, tapi aku ikhlas dek. Kamu adek tercantik dan terbaikku. Terlalu banyak yang kamu ajarkan pada kami yang kau tinggalkan. Ibadah, kebaikan, ketulusan, bakti, pengabdian, akan jadi perhiasanmu yang selalu terkenang di hati kami. Aku yakin kamu tak pergi, karena namamu telah terpatri di hati kami, selamanya. Selamat jalan adekku, trimakasih atas semangat yang kau ajarkan pada kami, trimakasih untuk selalu tak lelah mengajar adek-adek di TPA, dan trimakasih untuk setiap hal baik yang selalu kau tanamkan di benak kami. Aku akan selalu merindukan senyummu yang sangat manis itu, becandaanmu yang khas, kewaguanmu, suaramu. Semuanya yang ada di dirimu. Semoga kami yang masih disini mampu meneruskan perjuangan yang telah kau mulai ya dek, terutama untuk adek-adek TPA yang selalu kau perhatikan. Sekali lagi, damai disana ya dek, Allah pasti menjagamu di surgaNya J


RIP Nurvitria Evasari (Ria)
5 Juli 1992-28 Oktober 2012 
 



Thursday, October 25, 2012

Senja di Parangtritis



“Pak, Madiun Jaya 1 orang”, kata Senja dari luar jendela pos tiket Statiun Mugowo pada petugas yang berjaga sendiri di dalam pos tersebut. Sore itu mungkin senja terakhir di bentang Merapi yang Senja dapati jadwal kereta pukul 16.35 ia ambil.
Panggilan tes kerja harus Senja jalani di Solo, fresh graduate Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM tersebut, menggandaikan ijasahnya di sebuah Harian Umum Lokal di Kota Solo. Kecintaannya pada dunia penulisan membawanya masuk dalam dunia jurnalistik.
“Kereta Madiun Jaya pada jalur 4 tujuan Solo Balapan segera masuk”, demikian ucap petugas di balik suara microfon.
          Senja mempersiapkan diri, berdiri di tepi area tunggu Statiun Maguwo. Perjalanan menuju Solo Senja sangat menikmati nyamannya moda transportasi yang satu ini, tidak ada tiket berdiri, gerbong ber-ac dan full musik, rasanya lengkap sudah pelayanan minimal yang Senja dan penumpang lain butuhkan. Senja asyik membuang mukanya kea rah jendela, melihat hamparan hijau persawahan milik Klaten, wilayah praja Kota Solo, pemukiman padat penduduk di area tepi perlintasan kereta api, aktivitas sore para penduduk yang mampu dipotret oleh mata gadis Yogya tersebut.
          Kata orang tidak ada kata berpisah, tapi nyatanya yang Senja rasakan dalam kereta sore itu momen graduation layaknya sebuah sayonara. Selesai lulus sekolah dasar, Senja dan 37 teman sekelasnya harus berpisah dalam sekolah menengah yang berbeda-beda, begitu pula dibangku mahasiswa. Teman-teman kuliah Senja sudah berkemas meninggalkan kost masing-masing, angkat koper dari Kota Gudeg untuk meniti masa depan yang banyak orang bilang masa depan itu menyoal cita dan cinta. Teman-temannya kembali ke kampung halaman, pulau di seberang Jawa, kota di barat Jawa atau kembali ke ketiak ibu masing-masing tanpa bermaksud menjadi benalu. Rantau menjadi pilihan Senja, cukup Kota Solo tetangga dekat dari Yogyakarta. Senja tahu, atmosfir Solo tak berbeda jauh dengan Yogyakarta. Kental suasana budaya, penduduk yang ramah tamah, dan suasana Jawa yang hanya sedikit berbeda. Senja mulai berhenti membuang muka ke jendela, di luar mulai gelap, hanya lampu-lampu rumah penduduk yang terkadang terlihat seperti hamparan bukit bintang.
18.25, kereta sampai di Purwosari, kalau bisa jemput aku, aku minta tolong jemput ya..

Tuesday, October 23, 2012

Candu Rindu



Rindu ini semacam candu
yang bahkan tak mampu terpuaskan walau sudah terobati
mengikat, menyebabkan ketagihan

Terbiasa aku menikmati candu ini
sengaja aku tak mengobati
biar saja menumpuk, agar lebih merasuk
hingga nanti mampu terpuaskan
ketika ku temukan obatnya

Ah tapi sepertinya sama saja
rindu ini tak pernah puas memang
seribu kali pun ku memelukmu dalam bayangan
tetap saja ada rindu yang kutemukan

Biar saja rindu ini menjadi candu
candu yang mengikatku
agar tak lari darimu

Candu ini kunikmati sebagai sajian
saat aku kesepian

Padamu canduku
obati rinduku


Solo, 24 Oktober 2012

Saturday, October 20, 2012

Masihkah ada maaf tersisa




Ya Allah, bolehkah aku menyerah sekarang??
Rasa-rasanya semakin berat
Semakin aku mencoba melangkah, semakin payah aku berjalan
aku tak yakin sisa daya yang kupunya

Ingin berhenti, tak ingin menapaki lagi
cukup sampai disini

Rasa-rasanya cukup banyak pikir dan tenaga terbuang
tapi tak terlihat kondisi berkembang
stagnan, tak ada laju sedikit pun
seakan memang tak ada ujung

Ya Allah
ingin sekali aku menangis
berteriak lantang kepada mereka
“masih adakah sedikit kepedulian kalian terhadap milik kita ini??”
“masih adakah sedikit rasa kalian mereka terhadap kami yang masih berusaha bertahan disini??”
dan aku akan berteriak pada diriku sendiri
“berapa banyak sisa tenaga yang masih kau punya sekarang??”
“berapa lama kau akan sanggup melewati jalan ini dengan luka di sekujur tubuhmu??”

Maaf Tuhan
jika aku memendam kekecewaan terhadap orang-orang ini
terhadap dia, dia, dan masih banyak dia yang lain
terlebih terhadap diriku sendiri
Rasa-rasanya kecewa terhadap dirikulah yang paling besar
ketidakmampuanku menghadapi ini demua
ketidakmampuanku bangkit dari ketidakmampuan itu

Tuhan
masih sanggupkah Kau memaafkanku??
masih sanggupkah Kau memberiku maaf jika aku menyerah sekarang??
masih adakah kata maaf tersisa??

Solo – 20 Okt 2012