Friday, January 31, 2014

Di Batas Senja



Sore ini aku terduduk manis di sebuah cafe di kota Bandung. Ku nikmati secangkir vanilla latte sambil mendengarkan sebuah lagu yang mengalun lirih dari earphone di sepasang telingaku. Di luar hujan deras sekali. Sebenarnya sore ini aku ada janji bersama teman-temanku. Ah tapi sudahlah, aku lebih suka duduk menyendiri disini. Orang-orang sering menganggapku anti sosial karena sering menyendiri. Tapi bagiku, aku lebih suka menyendiri agar bisa bermain dengan lamunanku. Aku memang tak terlalu peduli dengan omongan orang.
          Ku teruskan lamunanku sambil perlahan-lahan menyeruput vanilla latte ku. “Mel”, tiba-tiba ada yang memanggilku.  Samar-samar ku kenali seorang gadis sebaya yang tiba-tiba duduk di depanku. “Andria?”, tanyaku.
“Iya, ini aku. Kamu apa kabar?? ga nyangka bisa ketemu kamu disini”, jawab gadis yang ku panggil Andria tadi.
“Ba...baik. Kamu gimana? Iya ya, kok kamu bisa ada di sini?”, aku bertanya balik.
“Alhamdulillah baik juga. Aku sekarang tinggal di Bandung Mel, ikut suamiku. Ya maklumlah dia kerjanya pindah-pindah. Kamu sendiri kok bisa ada di Bandung?”, jawabnya.
“Aku kerja disini Ndri, di sebuah perusahaan sebagai marketing research. Wah, selamat ya. Sama pacar kamu yang dulu itu?”, tanyaku lagi.
“Iyalah, siapa lagi? eh kamu sama mas Kenan gimana? udah jadian belum? kalian kan dulu deket banget? udah...langsung nikah aja”, tanyanya yang membuatku kaget.
“A...aku sebenarnya...”, jawabku bingung.
“Eh Mel, sory buru-buru. Aku udah ditunggu suamiku. Pokoknya ku tunggu undangan dari kalian yaa. Daaa....”, katanya sambil terburu-buru.
          Selepas kepergian Andria ada rasa sesak yang tiba-tiba menyumbat dadaku. Mungkin efek dari pertanyaan terakhirnya yang belum sempat kujawab. Kenan? ah kenapa ada yang menyebut nama pria itu lagi. Pria yang dulu pernah sangat kucintai. Ah andai saja sempat, ingin ku jawab pertanyaan tadi “aku memang pernah dekat dengan mas Kenan, dan aku pernah mencintainya. Tapi ia tak pernah mencintaiku, jadi kami ga akan mungkin berpacaran”. Tapi Andria terlanjur pergi dan jawaban ini serasa menggantung di ujung lidahku.
          Pertanyaan Andria membuat pikiranku dipenuhi kembali oleh pemilik nama Kenan. Pria yang telah bertahun-tahun berhasil mencuri hatiku, namun tak pernah sedetik pun aku mampu mencuri hatinya. Sudah lebih dari setahun ini pula aku mencoba move on darinya. Namun setiap kali ada orang yang menyebut namanya, atau menanyakan kembali kedekatan di antara kami, bayangannya kembali melintas. Seakan ia enggan merelakan dirinya dilupakan olehku. Seperti saat ini, dirinya kembali menyeruak hadir di antara ribuan tetes air hujan yang ditumpahkan langit.
Tanpa sadar aku mengambil sebuah kertas dan menulis sebuah puisi
Kamu serupa hujan
yang basah menyejukkan bumi
lalu pergi menuju laut tanpa perduli aku
kamu serupa hujan
yang rintiknya dapat kusentuh
namun tak pernah dapat kugenggam
kau tinggalkan jejak yang kusebut kenangan
menghilang terbakar panas matahari
lalu kembali lagi sebagai kamu
          Di bawah puisi itu ku tulis catatan. “Aku tak pernah datangkan kamu ke hidupku. Tak pernah pula berniat hadirkan cinta di hatiku. Namun aku tak pernah mampu menolak saat kerinduan ini hadir menyapaku. Aku hanyalah aku, yang logikaku terasa lumpuh berhadapan denganmu. Cinta yang memaksaku untuk memahamimu. Seringkali logika mengeluh, saat hati terlalu terpedaya oleh bayanganmu. Apakah ini yang disebut kebodohan? Ku rasa tidak. Mungkin ini hanya sisa rasa yang masih ingin muncul kala sepi menemaniku. Bibir ini kupaksa melukiskan senyum saat mereka riuh mengalunkan namamu. Berapa lama lagi kamu bertahan disini? di tempat seharusnya aku menghirup udara sebebas-bebasnya tanpa rasa sesak karena himpitan pikiran-pikiran tentangmu. Pergilah. Aku hanya ingin mengenangmu sebagai tumpukan kisah yang akan kusimpan dalam kotak masa laluku. Bukan hujan yang kurindukan kehadirannya lalu pergi tanpa sepatah kata permisi pun. Sore ini, di batas senja dan hujan, aku melepasmu”.
          Kusruput habis sisa vanilla latte ku, lalu pergi meninggalkan cafe itu. Menembus rintik hujan yang masih serasa kamu.

Senja ke 365



Suatu sore berlatarkan langit senja yang cerah, kita duduk di atas hamparan pasir, memandang warna biru lautan. Sore itu alam nampak sempurna menjadi latar perbincangan kita.
“Sudah sore, ayo kita pulang. Perjalanan yang harus kita tempuh masih cukup jauh”, katamu padaku.
“Aku masih ingin disini, menikmati matahari tenggelam”, jawabku.
“Baiklah”, katamu sembari kembali duduk.
“Kenapa kau suka senja?”, tanyamu.
“Aku tak begitu suka senja. Aku hanya mencoba menikmati kesempurnaan alam yang sering dikatakan orang-orang”, jawabku. “Bukankah dirimu yang pemuja senja?”, kataku balik bertanya.
“Iya”, jawabmu singkat.
Lalu kembali sunyi, hanya deburan suara ombak mengisi kosong di antara kita.
“Mengapa kau masih mencintaiku?”, tanyamu tiba-tiba.
“Aku tak tahu. Mungkin karena kau telah mengunci hatiku”, jawabku sekenanya.
“Aku tak pernah mengunci hatimu”, balasmu ketus.
“Oh, maaf. Mungkin aku yang terlalu mengikatkan hatiku padamu”, jawabku sambil menunduk.
“Nay, mengapa kau tidak mencoba berhenti mencintaiku?”. Kali ini suaramu terdengar pelan, setengah berbisik.
“Aku ingin, tapi aku tak pernah tau caranya Dan. Andai aku tau sebab mengapa aku mencintaimu, aku juga pasti menemukan jawaban agar bisa berhenti mencintaimu. Aku sudah mencoba mengingat segala perilaku burukmu selama ini. Aku mencoba selalu mengingat bahwa kau tak pernah mencintaiku. Pada akhirnya perasaan ini tak pernah mau menyerah untuk tetap tinggal”, jawabku. Aku menahan genangan air mata di sudut mataku. Aku tak ingin kau melihatku menangis.
“Nay, lepaskan aku. Kumohon”, katamu setengah meminta.
“Aku sudah pernah melepaskanmu. Tapi kenapa akhirnya kau kembali padaku? Aku bukan mainan Dan”, kataku mencoba tegas.
Lalu kami kembali terdiam. Tenggelam dalam gemuruh suara hati masing-masing. Mataku rasanya semakin tak sanggup menahan butiran air mata yang bersiap-siap jatuh.
“Maafkan aku Nay. Mungkin aku merasa terlalu nyaman denganmu”, katamu lirih.
“Maafkan aku juga Dan. Tak seharusnya aku menuruti perasaanku hingga akhirnya justru melukaimu. Seharusnya aku sadar, kau tak pernah menginginkan perasaanku”, jawabku sambil menangis. Air mata ini sudah benar-benar tak mampu kutahan. Semilir angin semakin menambah pilu hatiku.
“Bukan begitu Nay, tapi...”.
“Tapi apa Dan? tapi kau masih mencintainya? atau kau tak pernah mampu untuk mencintaiku? atau aku terlalu tak pantas untukmu?”, jawabku memotong perkataannya. Tak kusangka kalimat itu melucur begitu saja dari mulutku. Kali ini pertahanan batinku benar-benar roboh. Ada rasa yang luar biasa perih begitu aku selesai mengucapkan kalimat-kalimat curahan hatiku itu.
Dan kau hanya mampu terdiam memandangiku sambil meneteskan air mata. Aku sadar pertanyaanku menyakitimu.
Namun kucoba menegarkan hatiku. Kusibakkan rambut yang menutupi wajahku karena hembusan angin. Dengan lirih aku mencoba berkata padamu. “Baiklah Dan kalo itu maumu. Aku akan pergi agar kau tidak lagi merasa tak nyaman dengan perasaaanku”.
“Apa maksudmu, Nay?”, tanyamu kebingungan.
“Minggu depan aku akan ke Bandung. Aku sudah resign dari pekerjaanku di Solo. Dan aku sudah mendapatkan pekerjaan di Bandung”, jawabku.
“Mengapa kau melakukan ini semua Nay? mengapa kau tidak mengatakan padaku?”, tanyamu setengah membentak.
“Buat apa Dan? toh apapun yang aku lakukan dan terjadi padaku, kau tidak akan pernah peduli”. Kembali kata-kata pedas keluar dari mulutku.
“Maafkan aku Nay”, katamu dengan wajah tertunduk.
“Kapan kau akan pergi?”, tanyamu pelan.
“Lusa aku akan pulang, setelah itu aku akan pergi ke Bandung. Aku harus bertemu orang tuaku dulu”, jawabku sambil memandang lurus ke depan. Aku tak mau melihat wajahnya. Aku takut keputusanku akan goyah.
“Kau akan kembali ke Solo?”, tanyamu.
“Aku tak tahu. Aku cinta kota itu, tapi aku tak yakin aku ingin kembali kesana”, jawabku pelan.
“Nay, maukah kau berjanji satu hal padaku?”, tanyamu seperti memohon.
“Apa?”, aku masih tak mau memandang wajahnya.
“Di senja di hari ke 365 dari hari ini, berjanjilah kau akan kembali kesini. Di pantai ini, tempat kita berdiri memandang senja itu”, pintamu sambil menunjuk matahari senja yang semakin tenggelam.
“Kenapa?”, tanyaku tak mengerti.
“Aku akan memberi jawaban atas perasaanmu padaku”, jawabmu.
“Untuk apa Dan?”, tanyaku sambil mengeryitkan dahi. Aku masih tak mengerti atas permintaannya yang terdengar aneh bagiku.
“Kumohon, turuti saja permintaanku. Please”, jawabmu dengan wajah memelas.
“Aku tak tahu Dan. Mungkin setelah 365 hari perasaanku padamu telah tak berarti apa-apa. Mungkin akan ada lelaki lain yang membebaskan aku dari kunci hatimu. Entahlah”, jawabku menolak permintaannya.
“Baiklah, kalaupun itu terjadi, aku tetap akan menunggumu di senja ke 365 itu disini. Kuharap kau akan datang”, jawabmu tegas.
“Sekarang ayo kita pulang. Hari semakin malam”, ajakmu.
“Baiklah”, jawabku.
Kami bergegas pulang ke Solo. Sore itu, dinaungi langit senja yang memerah, kami meninggalkan titik yang akan menjadi saksi pada senja ke 365 nanti. Entah pada akhirnya kami akan kembali berdiri di titik itu atau tidak, senja ke 365 yang akan menjawabnya nanti.
*to be continued*