Halo Juli. Rasanya tahun ini seneng banget ketemu kamu. You know
why?
-
the
first, skripsi saya sudah selesai. Itu
artinya saya tidak terbebani lagi untuk mengerjakan skripsi yang baru dapat
saya selesaikan selama 2 tahun (ketahuan malesnya hehehe...). Meskipun itu
artinya saya segera menyandang status terbaru sebagai pengangguran sementara.
-
the
second, di bulan ini ada 3 momen terbesar
yang terjadi, yaitu final piala dunia 2014 (kebetulan saya adalah penggila
bola), bulan suci Ramadhan, dan pesta demokrasi pemilihan presiden Indonesia
pada 9 Juli nanti.
Kali
ini saya nggak mau membahas soal final piala dunia (semoga Brazil menang)
ataupun datangnya bulan suci Ramadhan. Saya pengen sedikit mengulas tentang
pemilihan presiden pada 9 Juli nanti. Pesta demokrasi inilah yang telah
ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk membawa perubahan yang lebih baik
bagi mereka dalam 5 tahun ke depan. Sebenarnya sudah banyak blog yang membahas
ini sih, dan saya pun udah telat karena 9 Juli jatuh pada lusa. Tapi tak
apalah, semoga tulisan yang merupakan opini saya ini bisa memberi sedikit
pencerahan bagi yang masih bingung menentukan pilihannya.
And
finally....jreng....jreng....jreng....here we go...
Pada
awalnya saya pun mengalami kebingungan dalam menentukan siapa pasangan
capres-cawapres yang akan saya berikan kepercayaan untuk ‘menjadi imam’ saya
selama 5 tahun ke depan. Apalagi capres-cawapres hanya ada 2 pasangan calon.
Tentu saja ini pilihan yang sulit. Saya berusaha mempelajari latar belakang
kedua pasangan calon, dan ini membuat saya semakin kebingungan karena kedua
pasangan sama-sama bagus. Pasangan no urut 1 (Prabowo-Hatta), capresnya mantan
anggota TNI yang tidak perlu diragukan lagi ketegasan dan kemampuan
pertahanannya. Tentu saja ia juga memiliki pengetahuan politik yang tidak
sedikit. Sementara cawapresnya, pak Hatta, adalah mantan menteri perhubungan
dan menteri ekonomi pada kabinet sebelumnya. Tentu saja kemampuannya sudah tak
bisa diragukan lagi. Sedangkan pasangan no urut 2 (Jokowi-Jusuf Kalla) juga memiliki
latar belakang yang cukup bagus. Jokowi adalah mantan Walikota Solo selama 2
periode (meskipun periode ke 2 nggak tuntas) dan sampai sekarang masih menjadi
Gubernur DKI Jakarta (ini nggak selesai juga) yang kemampuan leadershipnya
jelas diatas rata-rata. Sementara pak JK adalah mantan wakil presiden pada
kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Jikalau ia menjadi wakil presiden kembali,
bukan tidak mungkin beliau akan mengulang kesuksesan yang sama.
Kebingungan
saya alami ketika melihat sisi negatif kedua pasangan calon. Prabowo sebagai
capres no urut 1 memiliki kekurangan ketika kita menilik kasus penculikan
aktivis tahun 1998. Saya memang tidak mengerti betul kasus tersebut karena saat
itu saya baru berumur 8 tahun. Namun mengikuti perkembangan berita di media
dimana sering kali diberitakan bahwa para aktivis yang diculik saat itu tidak
diketahui nasibnya hingga saat ini. Bagi saya pribadi ini adalah kejahatan
kemanusiaan. Sementara cawapresnya, pak Hatta, saya melihat pada saat di
periode sebelumnya saat beliau masih menjabat sebagai menteri perhubungan,
banyak sekali kecelakaan yang dialami transportasi kita baik yang melalui jalur
darat, laut, dan udara. Sampai sekarang bagi saya kasus-kasus tersebut belum
terselesaikan sepenuhnya. Namun saya cukup terkejut ketika beliau tiba-tiba
diganti jabatan menjadi menteri ekonomi oleh bapak SBY. Sedangkan pasangan no
urut 2, capresnya, pak Jokowi, saya sempat mencap beliau tidak amanah. Setelah
beliau belum menyelesaikan amanahnya untuk Kota Solo, beliau justru pergi untuk
mengabdi pada provinsi DKI Jakarta. Belum selesai pula pengabdian beliau untuk
provinsi tersebut, beliau sudah dicalonkan sebagai calon presiden RI. Namun
saya sempat melihat ekspresi beliau ketika menerima keputusan partai untuk
menjadi capres RI (kebetulan saya suka mengamati ekspresi orang) beliau
terlihat begitu berat menerimanya. Mungkin bertentangan dengan hati kecil
beliau. Sementara untuk pak JK, saya tidak melihat hal negatif dari dirinya.
Namun
seiring berjalannya waktu, pada akhirnya saya memutuskan menentukan sebuah
pilihan. Yap, saya akan memilih pasangan no urut 2. Hal ini berdasarkan
beberapa pertimbangan, antara lain:
1.
Saya
tinggal selama 6 tahun di Solo, kota yang pernah dipimpin pak Jokowi. Bahkan
saat itu beliau masih menjabat sebagai walikota untuk periode ke 2. Di kota
yang awalnya sama sekali tidak saya kenal itu, saya melihat kota Solo sudah
tertata dengan rapi dan apik, meskipun belum seluruhnya. Tentu saja penataan
kota tidak bisa dilakukan dalam sekejap waktu. Di kota yang dulu dikenal
sebagai ‘sumbu pendek’ ini, kini saya melihat masyarakatnya jauh lebih ramah.
Tentu saja rakyat akan ikut apa yang dicontohkan pemimpinnya kan?
2.
Kepribadian
merakyat dan sederhana yang diperlihatkannya. Hal ini tidak dilakukan jauh
sebelum media mengekspos segala aktivitas yang dilakukan Jokowi (seingat saya
Jokowi mulai terkenal setelah memasarkan mobil ESEMKA). Sebagai contoh, waktu
itu jurusan saya, Ilmu Komunikasi FISIP UNS dalam mata kuliah perencanaan
komunikasi kalo saya nggak salah ingat, pernah mengundang salah satu kepala
dinas (saya lupa dinas apa) untuk memberikan pemaparan tentang strategi pemkot
dalam menata kota Solo, terutama perencanaan komunikasi dengan semua lapisan
masy, khususnya para PKL. Waktu itu kepala dinas sudah datang dan memberikan
kuliah umum sebentar, namun tiba-tiba pak Jokowi datang dan masuk ke ruangan.
Sontak kami para mahasiswa dan dosen kaget karena tidak ada yang mengetahui dan
menyangka beliau akan datang. Lalu dengan sopan dan jelas beliau memberikan
kuliah umum. Bahkan beliau menjawab setiap pertanyaan dengan ramah. Beliau
bahkan memotivasi kami, mahasiswa, untuk ikut aktif ambil bagian dalam
menciptakan kota Solo yang aman, tertib, indah dan damai. Contoh kedua, waktu
diselenggarakan sebuah event oleh anak-anak komunikasi 2007 UNS di Ngarsopuro,
para kepala dinas, dosen, dan tamu penting sudah datang dan duduk di barisan
kursi paling depan. Di tengah-tengah acara ternyata pak Jokowi datang dan
berbaur dengan para penonton tanpa dikawal siapapun. Saya yang saat itu juga
ikut menonton, tidak menyadari ada pak Jokowi yang berdiri dekat dengan tempat
saya berdiri. Di akhir acara, kami baru menyadari bahwa ada bapak walikota yang
berdiri di tengah-tengah penonton.
Di
situlah saya melihat kesederhanaan seorang pemimpin. Beliau tidak memberi
batasan antara pimpinan dan rakyatnya. Bagi beliau, pemimpin dan rakyat adalah
satu yang sama-sama memiliki tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan
bersama.
Saya
sedih dengan banyaknya black campaign yang bersifat menjatuhkan kedua
pasangan calon, terutama pak Jokowi. Saya sedih apabila beliau selalu dibilang
pencitraan. Karena bagi saya apa yang dia lakukan dan tunjukkan, memang pribadi
dia yang sebenarnya. Beliau sudah melakukan itu jaauuuuuuhhhhhhhhh sebelum
media repot-repot mengeksposnya. Toh kalaupun memang benar itu pencitraan, apa
salahnya? Bukankah setiap orang membutuhkan pencitraan? Bukankah setiap orang
tidak mau dinilai buruk oleh orang lain? Tanpa kita sadari kita setiap saat pun
melakukan pencitraan di depan setiap orang yang kita temui. Ini yang disebut
sebagai Personal Branding (kebetulan saya pernah ikut seminar Personal
Branding yang diisi oleh Helmy Yahya, meskipun nggak terlalu fokus karena
saat itu saya menjadi panitianya). Inti dari seminar itu adalah setiap orang
membutuhkan pencitraan agar dirinya memiliki ‘nilai’ di depan orang lain. Jadi
tak ada salahnya jika pak Jokowi-JK dan juga Prabowo-Hatta mencitrakan dirinya
di depan calon rakyatnya, semata-mata agar rakyat memiliki kepercayaan untuk
memilih mereka kelak.
Siapapun
pilihannya, saya berharap agar kita sama-sama saling menghormati pilihan
masing-masing. Tidak menjelekkan capres-cawapres lawan. Toh pada akhirnya salah
satu dari mereka akan menjadi pemimpin kita yang wajib kita hormati dan taati.
Siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti, semoga mereka amanah
akan apa yang telah mereka janjikan.
Mari
kita sukseskan pemilu 9 Juli nanti sesuai azas LUBER JURDIL. Pemilu 9 Juli,
Pemilu yang Damai.
Salam
sayang untuk Indonesia.