Sore ini aku
terduduk manis di sebuah cafe di kota Bandung. Ku nikmati secangkir vanilla
latte sambil mendengarkan sebuah lagu yang mengalun lirih dari earphone
di sepasang telingaku. Di luar hujan deras sekali. Sebenarnya sore ini aku ada janji
bersama teman-temanku. Ah tapi sudahlah, aku lebih suka duduk menyendiri
disini. Orang-orang sering menganggapku anti sosial karena sering menyendiri.
Tapi bagiku, aku lebih suka menyendiri agar bisa bermain dengan lamunanku. Aku
memang tak terlalu peduli dengan omongan orang.
Ku teruskan lamunanku sambil
perlahan-lahan menyeruput vanilla latte ku. “Mel”, tiba-tiba ada yang
memanggilku. Samar-samar ku kenali
seorang gadis sebaya yang tiba-tiba duduk di depanku. “Andria?”, tanyaku.
“Iya, ini
aku. Kamu apa kabar?? ga nyangka bisa ketemu kamu disini”, jawab gadis yang ku
panggil Andria tadi.
“Ba...baik.
Kamu gimana? Iya ya, kok kamu bisa ada di sini?”, aku bertanya balik.
“Alhamdulillah
baik juga. Aku sekarang tinggal di Bandung Mel, ikut suamiku. Ya maklumlah dia
kerjanya pindah-pindah. Kamu sendiri kok bisa ada di Bandung?”, jawabnya.
“Aku kerja
disini Ndri, di sebuah perusahaan sebagai marketing research. Wah,
selamat ya. Sama pacar kamu yang dulu itu?”, tanyaku lagi.
“Iyalah,
siapa lagi? eh kamu sama mas Kenan gimana? udah jadian belum? kalian kan dulu
deket banget? udah...langsung nikah aja”, tanyanya yang membuatku kaget.
“A...aku
sebenarnya...”, jawabku bingung.
“Eh Mel,
sory buru-buru. Aku udah ditunggu suamiku. Pokoknya ku tunggu undangan dari kalian
yaa. Daaa....”, katanya sambil terburu-buru.
Selepas kepergian Andria ada rasa
sesak yang tiba-tiba menyumbat dadaku. Mungkin efek dari pertanyaan terakhirnya
yang belum sempat kujawab. Kenan? ah kenapa ada yang menyebut nama pria itu
lagi. Pria yang dulu pernah sangat kucintai. Ah andai saja sempat, ingin ku
jawab pertanyaan tadi “aku memang pernah dekat dengan mas Kenan, dan aku pernah
mencintainya. Tapi ia tak pernah mencintaiku, jadi kami ga akan mungkin
berpacaran”. Tapi Andria terlanjur pergi dan jawaban ini serasa menggantung di
ujung lidahku.
Pertanyaan Andria membuat pikiranku
dipenuhi kembali oleh pemilik nama Kenan. Pria yang telah bertahun-tahun
berhasil mencuri hatiku, namun tak pernah sedetik pun aku mampu mencuri
hatinya. Sudah lebih dari setahun ini pula aku mencoba move on darinya.
Namun setiap kali ada orang yang menyebut namanya, atau menanyakan kembali
kedekatan di antara kami, bayangannya kembali melintas. Seakan ia enggan
merelakan dirinya dilupakan olehku. Seperti saat ini, dirinya kembali menyeruak
hadir di antara ribuan tetes air hujan yang ditumpahkan langit.
Tanpa sadar
aku mengambil sebuah kertas dan menulis sebuah puisi
Kamu serupa
hujan
yang basah
menyejukkan bumi
lalu pergi
menuju laut tanpa perduli aku
kamu serupa
hujan
yang
rintiknya dapat kusentuh
namun tak
pernah dapat kugenggam
kau
tinggalkan jejak yang kusebut kenangan
menghilang
terbakar panas matahari
lalu kembali
lagi sebagai kamu
Di bawah puisi itu ku tulis catatan.
“Aku tak pernah datangkan kamu ke hidupku. Tak pernah pula berniat hadirkan
cinta di hatiku. Namun aku tak pernah mampu menolak saat kerinduan ini hadir
menyapaku. Aku hanyalah aku, yang logikaku terasa lumpuh berhadapan denganmu.
Cinta yang memaksaku untuk memahamimu. Seringkali logika mengeluh, saat hati
terlalu terpedaya oleh bayanganmu. Apakah ini yang disebut kebodohan? Ku rasa
tidak. Mungkin ini hanya sisa rasa yang masih ingin muncul kala sepi
menemaniku. Bibir ini kupaksa melukiskan senyum saat mereka riuh mengalunkan
namamu. Berapa lama lagi kamu bertahan disini? di tempat seharusnya aku
menghirup udara sebebas-bebasnya tanpa rasa sesak karena himpitan
pikiran-pikiran tentangmu. Pergilah. Aku hanya ingin mengenangmu sebagai
tumpukan kisah yang akan kusimpan dalam kotak masa laluku. Bukan hujan yang
kurindukan kehadirannya lalu pergi tanpa sepatah kata permisi pun. Sore ini, di
batas senja dan hujan, aku melepasmu”.
Kusruput habis sisa vanilla latte ku,
lalu pergi meninggalkan cafe itu. Menembus rintik hujan yang masih serasa kamu.