Sore
ini aku pergi ke sebuah panti asuhan di kota ini bersama teman-temanku. Ya,
kami memang ada agenda organisasi untuk buka bersama mahasiswa baru dan
anak-anak panti asuhan tersebut serta memberi sedikit bantuan untuk mereka.
Ramadhan adalah saat yang mulia untuk berbagi, pikir kami.
Pukul 15.30, aku dan seorang teman
sampai disana. Telat sedikit, pikirku. Tak apalah, belum saatnya berbuka. Dan
dengan pedenya aku masuk ke panti itu, di tengah-tengah mereka yang sudah
berkumpul. Aku duduk. Dan tiba-tiba pandanganku langsung tertuju pada seorang
gadis kecil yang duduk tidak jauh dari tempatku. Manis, batinku. Diam-diam ku
dekati gadis kecil itu.
“Namanya
siapa dek?”, tanyaku.
“Agita
mbak”, jawabnya singkat.
“Umur
berapa?”, tanyaku lagi.
“Dia
masih 8 tahun mbak, masih kelas 3”, jawab seorang anak perempuan yang duduk di
sebelahnya.
Aku
terhenyak. Dia masih sekecil itu? pekikku dalam hati. Gadis sekecil itu sudah
ditinggal pergi orang tuanya. Entah mereka pergi secara fisik atau ada suatu
alasan lain. Benar-benar kasihan dia, batinku dalam hati.
Waktu
berbuka pun tiba.
“Adek
nggak makan?”, tanyaku pada gadis kecil itu lagi tatkala ia hanya diam
memandangi makanannya.
“Nanti
mbak”, jawabnya sambil tersenyum.
“Mau
mbak suapin?”, aku menawarkan diri.
“Nggak
usah mbak, aku makan sendiri, tapi nanti aja”, jawabnya ramah dan kembali
tersenyum.
Oh,
manisnya. Entah kenapa aku merasa senyumnya sangat tulus. Seakan menyembunyikan
kesedihan dan penderitaan yang ia jalani sejak kecil.
Acara
buka bersama dan berbagi itu berakhir. Ku ambil sebuah bingkisan yang memang
sudah kami siapkan untuk dibagikan kepada anak-anak penghuni panti itu.
“Dek
Agita, sini”, panggilku
Gadis
kecil berkerudung itu berlari ke arahku.
“Ada
apa mbak?”, tanyanya sambil menatapku
“
Ini ada hadiah buat adek yang cantik”, jawabku.
“Apa
ini?”, tanyanya dengan muka penasaran sambil buru-buru membuka bungkusan itu.
“Terima
kasih mbak”, katanya. Matanya yang berkaca-kaca menatapku lembut. Sementara
tangannya mengeluarkan satu set peralatan sekolah.
“Sama-sama.
Tapi adek harus janji ya, harus rajin belajar biar pintar”, pintaku.
“Pasti,
aku pasti rajin belajar untuk mengejar cita-citaku”, jawabnya optimis.
Aku
tersenyum sambil kuusap-usap kepalanya.
Acara
pun berakhir. Kami berpamitan kepada seluruh penghuni panti.
“Mbak,
tunggu”. Sebuah teriakan kecil memanggilku. Aku menoleh.
“Mbak
jangan lupain aku yaa”, pinta gadis kecil itu.
“Nggak
bakalan dek, moga mbak bisa kesini lagi yaa”, ucapku seraya berpamitan padanya.
Perlahan-lahan kami pergi. Tapi wajah
gadis itu dan senyumnya tak pernah pergi dari ingatanku. Ada pelangi di
senyummu dek J
Solo,
22 Agustus 2010